sajak malam

"haruskah ini menjadi sampah?
jika aku memang menciptakannya, maka ternyata
aku sendirilah yang membuangnya.."

menunggu detik memangkas hari
menebang ranting cabang
pengembara siang
esok..
biarkan ku mengayun dengan kakiku sendiri
karena tak ada engkau
dan tak ada hubungannya denganmu
angin hari kemudian
ingin terus menghembusi jiwa rapuh ini
hingga merobohkan setiap lembar jaring pertahanan
porandakan semua
serakkan segaris asa jiwa raga
apapun..
asal esok aku bisa berdiri
berlari dan tak hanya berhenti sampai disini

Sosok Tua 17 Agustus



Srekk..srekk..
Dalam kesendirian selalu saja ada ruang untukku. Entah lapang membentang ataupun hanya sepetak sempit tempat nafas ini bisa keluar-masuk satu-satu. Yah, walau terkadang aku ragu akan hadirnya ruang itu untukku, namun tetap kucoba tuk percaya bahwa dia selalu ada dan tersedia, karena sepertinya memang tak ada secelah ruangpun untuk sekedar tempatku tinggal di dunia nyata ini. Di sana aku memang sendiri, tapi setidaknya aku bisa berdiri. Bahkan bisa mencoba untuk berlari.
Sekitarku senyap saat ini. Hanya sayup-sayup terdengar celoteh anak SD yang pasti hanya karena pelajaran sejarah mereka ada di sini. Padahal sebenarnya akupun juga seperti itu. Jika bukan karena sekolahku membuat aturan yang begitu aneh: mewajibkan setiap murid yang tidak mengikuti upacara di Balai Kota untuk mengunjungi tempat membosankan macam ini. Dan yang pasti laporannya untuk minggu depan. Huh, sehebat apakah tempat ini hingga hampir semua orang mengelu-elukannya. Tempat bersejarah. Begitu mereka menyebutnya. Padahal hanya orang-orang berpikiran mundur saja yang selalu berkutat dengan sejarah. Manusia saat ini sudah seharusnya selalu memikirkan bagaimana dirinya di kemudian hari. Jauh memandang ke depan, dan tak perlu sedikitpun menoleh ke belakang. Sebuah sejarah kelam bangsa ini.
Beringin. Rumput. Daun. Angin. Aku.


Srekk..srek..
Ttitt.
Kupencet tombol I-Pod Nanoku. Goo-Goo Dolls>play.
And I give up forever to touch you
Couse I know that you fell me somehow
You’re the clossest to heaven that I never be
And I don’t wanna go home right now

And all I could teste in this moment
And all I can breathe is your live
Couse sooner or later it’s over
And I don’t wanna miss you tonight

And I don’t want the world to see me
Couse I don’t think that they’d understand
When everything’s made to be broken
I just want you to know who I am



Lap!
Layar i-podku mendadak gelap.
“Arrgh…i-pod sialan,” makianku kontan keluar menghujani benda mati yang sedikitkpun tidak bersalah itu. Ia tergeletak lemas di tangan kiriku. Kucabut kabel earphone dengan kasar, dan menjejalkannya paksa dalam saku kiriku.
Seiring berpisahnya musik dengan i-podnya, kesunyian dunia nyata kembali merundungku.
Srekk..srekk..
Pandanganku berkeliling. Masih tetap sama: Beringin. Rumput. Daun. Angin. Aku.
Srekk..srekk..
Mataku mengedar sekitar. Menoleh dan terkunci.
Srekk..srekk..
Gesekan sapu ijuk yang sedari tadi menemani kesendirianku mendadak seperti magnet yang menahan aku untuk tetap melihanya. Seorang pria memegang gagangnya. Wajahnya dipenuhi guratan-guratan tua. Rambutnya menyembul dari balik topi kuning Dinas Kebersihan. Putih. Kasihan paru-paru tuanya pasti sesak dipenuhi debu-debu yang berterbangan. Sesekali kulihatnya menyapu kening yang berkilauan oleh selapis tipis keringat sambil tak henti lidi-lidi itu digerakkannya membersihkan setiap helai daun kering atau bungkus plastik makanan dan minuman para pengunjung.
Srekk..
Alunan itu tiba-tiba terhenti ketika aku mulai menikmatinya. Sang tua pemegang sapu itu terbatuk. Kering. Batuk tua kukira. Namun baginya yang tiap hari harus berkutat dengan debu, kotoran, dan gas buang, itu terdengar memang sangat menyakitkan.
Khuk..khukk..khukk...
Terduduk dia di sampingku. Batuk itu tetap tak berhenti. Kutawarkan segelas air mineral dari sekolah yang sedari tadi hanya kumainkan saja.
”Terima kasih, Nak,” katanya sambil menerima uluran tanganku. Aku hanya tersenyum.
”Bapak memang sudah begini sejak dari dulu, batuk ndak berhenti-berhenti. Maklum Nak, sudah tua,” katanya tanpa kuminta. Namun melihatku tersenyum, sepertinya orang ini akan bercerita lebih banyak lagi. Tak apa.
”17 Agustus. Pasti sekarang17 Agustus. Biasanya Cuma pada hari ini saja orang-orang memajang bendera merah-putih. Ramai Nak, meriah. ada lomba-lombanya juga. Heh, ada-ada saja orang jaman sekarang ini. Tapi ndak pa-pa lah, paling tidak masih banyak orang yang mengingat hari kemerdekaan bangsanya. ” dan iapun menunduk. Seperti merasakan sebuah perasaan yang dalam.
Aku tetap diam. Tersenyum. Namun sepertinya itu dianggapnya sebuah respon yang menggembirakan. Terserahlah...
”Sekarang, jamannya sudah berbeda ya Nak, tidak seperti dulu. Dulu, Bapak saja ndak sekolah. Teman-teman Bapak juga. Hanya orang-orang yang kaya saja yang bisa sekolah. Tapi sekarang, banyak anak-anak berseragam yang sering berkunjung kesini. Bapak senang melihat mereka. Semoga saja negara ini akan lebih lebih baik di tangan mereka-mereka ini Nak. Anak juga masih sekolah,kan?” tiba-tiba saja ia bertanya kepadaku.
”Oh iya Pak,” kataku singkat. Senyum basa-basiku masih tetap menggembang.
”Anak ndak ikut upacara di Balai Kota?”
”Tidak Pak, sebagian siswa sekolah saya diwajibkan mengikuti upacara , namun sebagian lagi ditugaskan untuk mengunjungi museum terdekat untuk kemudian dibuat laporanya. Begitu Pak,” jelasku.
”Oh, bagus..bagus..,” kepalanya mengangguk-angguk. Tertawa. Giginya putih namun sudah jarang.
”Nak, kamu belajar yang rajin ya, buat Indonesia bangga dengan putra-putrinya. Bapak yang sudah tua seperti ini sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa,” katanya sambil beranjak dari bangku taman singgasanaku. Sebuah tepukan halus mendarat pada punggung sebelah kananku. Menandakan bahwa bapak yang satu ini memang berharap banyak kepada generasi berikutnya.
”Oh iya Pak, monggo...” kataku sambil menerima uluran tangannya.
Bapak tua itupun pergi. Dan sekarang tinggallah diriku sendiri seperti tadi. Hanya beringin. Rumput. Daun. Angin. Aku.
***
Museum Brawijaya, 17 Agustus 2002 (09.00 WIB)
Semuanya masih tetap membosankan ketika aku berajak dari kursi taman ini. Berjalan menuju gedung museum Brawijaya yang sama sekali tak mengerti kejenuhanku. Anak-anak SD itu masih saja bergerombol di sana. Tertawa-tawa sambil memamerkan giginya yang hitam oleh coklat atau kemerahan karena bumbu snack yang jelas-jelas dapat merusak tubuh.
Kucari teman-temanku. Ketemu. Mereka sedang asik mendengar penjelasan kurator mengenai sebuah tank tua yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Iseng saja aku bergabung. Sekedar berkerumun. Namun jelas-jelas pikiranku sedang tak ada di sini.
Pandanganku mengedar. Sekali lagi dikejutkan oleh sesuatu. Dan aku lebih terkejut lagi ketika kusadar bahwa ia adalah orang yang sama. Bapak tua penyapu halaman museum. Di depan sebuah foto ia menangis. Tubuhnya bergoncang pelan. Jelas sekali kalau ia sedang terisak. Sesekali ia menyeka mata. Menandakan bahwa air mata sedang deras mengaliri gurat tuanya. Namun, selangkahpun aku tak berani mendekatinya. Ada rasa berbeda ketika melihat seorang bapak tua menangis seperti itu. Mendadak diriku seperti seorang anak kecil yang sedang merindukan sosok seorang kakek. Namun, mata ini tak mau lepas dari pemandangan mengharukan yang terpeta di depan mata. Dan akupun…luluh.

Tempat yang sama hari yang sama (09.30 WIB)
Teeeettt……
Masih dalam posisi yang sama.
Sebuah sirine panjang berbunyi. Menandakan bahwa 57 tahun lalu, pada hari dak waktu yang sama, sebuah sejarah besar tertoreh. Seluruh rakyat Indonesia bersorak menyambut sebuah dunia baru, sebuah kemerdekaan.
“Alhamdulillahirrabil Aalamiin…,”
Sebuah kalimat syukur sempat menggema dalam dimensi antara aku dan dirinya. Dan kemudian sosok tua itu tersungkur. Bersujud ia di atas lantai museum Brawijaya yang dingin.
Mataku masih lekat mengawasinya. Sebuah gerakan mengejutkan baru saja ia lakukan. Begitu kontras dengan riuh rendah tepukan tangan pengunjung yang lain. Namun sepertinya tak satupun orang yang menangkap gerakan sujudnya. Semuanya larut dalam euphoria dengan tanda tanya, yang mungkin mereka sendiri tidak terlalu mengerti apa yang sedang mereka soraki.
Dia masih bertahan dalam posisinya. Hanya sesekali bergeser pada benda museum lainnya. Begitu seksama kulihatnya mengamati satu persatu benda-benda bersejarah itu. Ya, ada rasa yang dalam pada setiap gerak-geriknya. Dan akupun mendadak bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang ini...

Minggu, 17 Agustus 2008 (09.00 WIB)
Sekali lagi aku mematung dalam kesendirian. Menyingkir dari kerumunan pengunjung yang lain dan duduk tenang di bangku taman. Enam tahun yang lalu di tempat yang sama adalah titik awalku menuju sebuah perubahan. Sesosok kakek tua yang tak kukenal ternyata begitu dasyat merubah diriku. Aku seperti perlahan berevolusi menjadi seseorang yang lain. Bertanggung jawab. Disiplin. Peduli. Hampir aku tak mengenali diriku yang sekarang ini duduk di tengah-tengah taman ini, karena terakhir kali aku menginjakkan kakiku di sini adalah ketika aku masih kelas 1 SMA, dan jelas itu sangat berbeda sekali dengan aku sekarang.
Srekk..srekk...
Aku tenggelam. Memandang berkeliling. Mungkin saja akan kutemukan sesosok tua itu lagi yang selalu muncul mengejutkan.
Srekk..srekk...
Hah! Segera kutolehkan mukaku. Mata ini mengharap sosok tua itu terekam di sana. Namun...
Ah.. tak ada lagi sosok tua itu. Disana, beberapa meter dari tempatku duduk, berdiri seorang lelaki paruh baya sedang menggerak-gerakkan sapu ijuk. Rambutnya hitam sempurna, keluar dari balik topi kuning menyala Dinas Kebersihan...

Tempat yang sama hari yang sama (09.30 WIB)
Teeeettt……
Sekali lagi sebuah sirine panjang berbunyi. Untuk yang kesekian kalinya para pengunjung museum bertepuk tangan riuh. Sekedar meneruskan tradisi orang-orang sebelumnya yang selalu melakukan hal yang sama.
“Khikk..hikkk...” terdengar sebuah isak tangis. Semakin keras. Namun tetap tenggelam di tengah riuh rendah suara tepukan tangan. Tapi sekali lagi, aku dapat menangkapnya.
Sebuah keanehan. Itulah pikirku. Aku seperti masuk dalam slide yang sama namun dengan orang yang berbeda.
Aku tak mau membuang waktu lagi. Kudekati dia yang masih terisak di depan sebuah foto para pejuang yang diambil tepat pada 17 Agustus 1945, beberapa menit setelah Indonesia merdeka.
“Maaf Pak, sebenarnya foto siapa ini? Dan saya yakin bukan sebuah kebetulan, Enam tahun yang lalu ada seseorang yang juga menangis didepannya?” aku binggung menyusun kata-kata. Entah orang itu mengerti atau tidak.
Dia menoleh. Aku kaget. Wajah di sana adalah wajah sosok tua itu, namun lebih muda. Dan lagi-lagi pakaian kuning menyala Dinas kebersihan itu...
Tangannya terangkat. Ia menunjuk seseorang yang mengangkat tinggi-tinggi bendera merah putih sambil mengepalkan tangan yang lainnya. Senyum kemenangan tergambar jelas dari wajah tampannya. Yah, mungkin seperti itulah wajah-wajah puas mereka yang memperoleh kemerdekaan benar-benar dari tetesan keringat sendiri. Indah pasti. Namun ada apa ini?
“Orang ini. Saya tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya dia,” bapak itu memualai sambil tetap bersimbah air mata.
Kupandangi lamat-lamat wajah di foto itu. Tampan.
“Saya kenal orang ini. Beliau adalah seorang pejuang yang gagah berani. Tangguh. Beliau merasakan betul bagaimana Negara ini berjuang dan betapa nikmatnya ketika kemerdekaan telah diraih,” sesekali ia menghela nafas panjang. Menguatkan diri.
“Beliau adalah orang yang baik. Beliau memang tidak menuntut apa-apa dari kemerdekaan Negara ini, namun setidaknya beliau sedikit kecewa dengan pemerintah yang seringkali tidak menghargai perjuangan para pahlawan seperti beliau. Ya, beliau adalah pahlawan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah manapun. Hanya foto ini mungkin yang bisa menjadi bukti bahwa ia pernah berada di sana, diantara pejuang yang lain,” putus-putus kata demi kata meluncur keluar. Aku mendengarkan dengan menanti kejutan-kejutan apa lagi yang akan menghampiriku.
“Hingga setelah beliau merasakan nikmatnya merdeka, sampai detik beliau wafat, hidup beliau tetap saja kekurangan. Namun itu semua tak mengurangi cintanya pada Negara ini. Beliau pernah bekerja menjual Koran. Namun beliau berhenti, karena beliau bilang, beliau tidak tahan melihat kebobrokan Negara ini yang sering di muat di sana. Hingga akhirnya beliau bekerja di sini. Di depan sana. Beliau bekerja sebagai tukang sapu di museum ini. Dan inilah ternyata pekerjaan yang beliau suka. Sambil mencari penghasilan sekedar untuk makan keluarga, beliau bisa menyaksikan dirinya dan mengenang masa lalunya setiap saat,” dia berhenti sejenak. Kemudian meneruskan lag, “Namun enam tahun yang lalu beliau telah wafat, tepat pada tanggal 17 Agustus,” sekarang isaknya mulai mengeras.
Aku mulai merasakan ada letupan-letupan yang mulai membesar dalam diriku. Mungkinkah ia sosok tua itu?
“Tepat 17 Agustus 2002, dan tepat pukul 12 siang, sebuah truk menabrak beliau. Tepat di depan museum sana, ketika beliau akan beranjak pulang. Dan...,” kata-katanya terputus. Sepertinya ia tak bisa lagi meneruskannya.
Sementara aku yang masih terpaku di tempatku mulai menyadari kenyataan yang ada. Sebuah perasaan yang tak kutahu seperti apa itu tiba-tiba saja menyerangku.
“Beliau adalah bapak saya, yang sangat saya banggakan,” sebuah senyum mengembang. Tarikan nafas dan aliran air mata. Semua berpadu menciptakan sebuah keindahan yang begitu mengharukan.
Aku tetap terpaku dalam tempatku. Mencoba mencerna semuanya.
Srekk..srekk..

Kata Tanpa Kata

_akankah gelap semakin memekat
di tengah terang sinar yang telah dekat_

"

kembali pertanyaan terlontar
masih mengenai gelap malam dan terangnya siang
dua sisi dalam satu dimensi
begitu membingungkan

sebaiknya memang kata tak pernah tercipta
karena sepertinya tak ada seorangpun yang mengharapkannya ada
jangan banyak bicara!
itu mengenai kata-kata
sebuah hujatan
namun siapa yang tak pernah mengucapkannya?
kami butuh bukti, bukan janji..
siapa yang tak setuju dengannya?

cuma orang-orang malas yang menyanjungnya
ya, yang hanya bisa duduk termangu dan menunggu
sambil tak hentinya memintal
untuk membuat sebuah untaian
indah kata dia
namun, untuk apa?

bukannya dunia akan tetap sama
dan waktupun masih kejam seperti biasa

seseorang yang tak pandai mengucap kata
tak akan tenggelam jika sebuah badai menyapunya

karena kata sebenarnya tak bisa berkata-kata

sekali lagi, jika kata tak pernah ada...

welcome..

selamat datang di sebuah tempat tak berdefinisi
dimana kamu tak akan dituntut mengenai arti
atau sekedar bagaimana memandang semua ini
karena di sinilah tempat kita belajar berdiri..

Postingan Lebih Baru Beranda