abstraksi
Sebuah hidup tak berpola tiba-tiba saja menghampiriku. Dia kembali datang dengan bayangan abstraknya dan wujudnya yang absurd. Sungguh membingungkan. Namun, dunia nyataku selalu saja terhalang oleh katup super tipisnya.
Setelah kehilangan sebuah pegangan, tiba-tiba saja kaki ini merindukan sebuah pijakan. Entah lentur atau kuat, tak peduli. Yang penting dia tersedia dan selalu ada untukku berdiri. Dan kali ini, sepertinya tak hanya harapan yang ingin menempati bilik kecil relung pesakitanku yang gelap. Lebih dari hanya sebuah keinginan dan pengandaian. Namun, semudah itukan jalan dilewati.
Sepertinya memang butuh keahlian khusus untuk mengartikan sebuah proses. Buktinya sampai saat ini, ia masih menjadi sebuah misteri bagiku. Yah, sebuah dunia gelap yang membutuhkan lampu penerangan yang super besar untuk melihat bagaimana bentuknya yang sebenarnya. Tapi, sepertinya asik juga, jika dengan kegelapan yang dibiarkan alami, kita melewatinya murni hanya dengan hati. Sebuah penuntun yang takkan pernah menyesatkan. Hingga ketika ada setitik cahaya terlihat… itulah sebuah titik kemenangan.
Mata menengadah keatas menatap langit yang mengarak gelombang putih menyenangkan. Tak mau kali ini ia berubah gelap karena siklus mendung tak seharusnya datang. Burung-burung yang berkejaran dan gelitikan sepoi angin, sempurna membuatku tergoncang. Kekuatan tak terlihat membuatku ingin terbang bersama mereka. Tapi bukan sepenuhnya aku. Kubiarkan jiwaku terbang, namun jasad ini harus tetap tinggal. Ia harus tetap menapak di sebuah tempat yang tapat. Yang saat ini sedang diperebutkan oleh rindu dari kekosongan dan ketiadaan.
Rintik hujan menggetarkan selaput pendengaranku. Cipratannya jatuh membasahi sela-sela jari balitaku. Meresap pelan menembus pori-pori tipis tak terindera yang memenuhi seluruh tubuhku. Akupun limbung karena mungkin saat ini aku memang belum siap melihat sebuah kesempurnaan yang terhampar di depan mata. Karena yang tergambar hanyalah sebuah kekosongan. Ya, kekosongan yang begitu membencikan.
Perlukah saat ini sebuah status hidup dipertannyakan. Ya, aku hidup. Namun terserah mata yang mana yang kamu pakai untuk membuktikan kehidupanku.
Mata, tangan, kaki, tubuh, kepala…
Uh, semuanya menandakan kebodohan tak terhingga yang sampai saat ini masih bercongkol kuat di setiap sel ototku. Benarkah esok adalah sebuah akhir dari segala kebodohan itu?
Hahahahaaaa…
Ya, kebodohanku akan segera berakhir, walau harus dengan kebodohan pula. Tapi yang pasti akan ada akhir untuk ini semua.
Tak usah bingungkan waktu, karena bagaimanapun ia lebih kuat dari siapapun, termasuk aku dan kamu. Sebulan yang lalu masih 30 hari, seminggu yang lalu masih 7 hari, dan sehari yang lalu masih tetap 24 jam. Dan esokpun akan tetap demikian. Pun dirimu juga akan mampu menghadapinya, seperti adanya minggu kemarin yang begitu cepat meninggalkanmu. Dipercaya atau tidak, dia jauh lebih kuat dari dirimu, jika kau memang menghendaki seperti itu.
Jadi jangan biarkan, Cuma waktu yang menjawab semuanya, namun kau, sebuah super mekanisme masterpiece tak terhinggalah yang akan mengakhirinya dengan cara-cara manusia..
Kaupun juga bisa menjawab semuannya….
Aku untuk esok
Muthe’_080808

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda